Header

Header

Asnawiyyah
Suasana pedesaan yang begitu tenang. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Sebuah desa yang terisolali dan diapit oleh dua sungai besar pembatas Kab.Demak dan Porwodadi. Tepatnya di desa Brakas Timur Terkesi Grobogan Purwodadi. Di tempat inilah saya dilahirkan, tepatnya 06 April 1964 dan di desa ini saya dibesarkan oleh kedua orang tua saya. Setelah lulus SD saya hanya melanjutkan ke sekolah MADIN (Madrasah Diniyyah) pada sore hari. Sampai saya menginjak usia  16 tahun.

Aktifitas sehari-hari selain di madin adalah membantu kedua orang tua di sawah. Tanpa ada rasa malu sedikitpun saya membantunya. Karna memang remaja seusiaku di desa rata-rata juga tiap hari membantu orang tuanya di sawah.

Sampai sekarang pun, di desaku masih begitu terbelakang bila dibanding dengan desa-desa di sekitarnya. Karna memang sampai sekarang belum ada  jemabatan yang lebar dan muat untuk di lewati mobil.  Hanya sepeda motor saja yang bisa masuk di desaku. Tentu hal inilah yang membuat desaku laju perekonnomiannya lambat. Orang-orang kampung mata pencahariannya hanya mengandalkan pertanian yang lahannya mengelilingi kampung saya.

Suatu hari kakak ipar saya membangunkan saya untuk diajak ngobrol.” Kif kowe mondok wae ya?’” teng pundi kang?” neng pondok anyar, nggone Pak Kyai Chozin, Pilangwetan, pondoke jenenge Asnawiyyah”.

Tanpa berfikir panjang saya mengiyakan ajakan kakak saya. Karena memang mondok  dan menghafalkan al Qur’an adalah cita-citaku dari kecil. Selang satu minggu saya akhirnya berangkat ke pondok dengan diantar kedua orang tuaku, kakak iparku dan  4 temanku dari kampung (Musyafaah, Musyarofah, masnuah dan khazinah). Saya dan keempat teman saya merupakan santri pertama di pondok Asnawiyyah.

Pada waktu itu keadaan pesantren belum sebagus sekarang ini. Aula pesantren masih terbuat dari  gedeg (bambu yang dianyam) listrik belum ada, hingga penerangnya memakai lampu teplok atau sentir. Tentu keadaannya hanya remang-remang saja tidak terang seperti lampu neon. Tapi dengan keadan seperti itu, justru membuat kami tambah bersemangat, Tak terasa 6 tahun berlalu dan saya menyelesaikan hafalan 30 Juz di Asnawiyyah.

Setelah lulus saya dinikahi oleh seoarang laki-laki dari kota semarang. Setelah menikah saya langsung diboyong oleh suami ke semarang.

AWAL MULA DI KOTA SEMARANG

Kota semarang sungguh begitu asing bagi saya. Jauh lebih maju dari pada kampung. Tentu butuh waktu lama utuk adaptasi dengan lingkungan perkotaan. Lambat laun akhirnya bisa adaptasi juga. Membaur dengan masyarakat yang begitu majmuk dengan berbagai macam latar belakang.


Alhamdulilllah setelah 1 tahun menikah saya dikaruniai seorang putri. Waktu itu saya hanya sebagai ibu rumah tangga saja dan mengajar di TPQ di masjid dekat rumah saya. selang 5 tahun alhamdulillah anak kedua lahir.saya merasa karunia ALLAH begitu besar.

15 tahun berlalu dengan kebahagian dan keberkahan ,saya disuruh mengajar tahfidz di MI AL Khoiriyyah tanpa membuat lamaran, padahal saya hanya lulusan SD, dari yayasan alkhoiriyyahpun tidak mempermasalahkan lulusan sekolah formal saya.

Alhamduliilah inilah buah dari kesungguhan dan kegigihan saya nyantri menghafal al-Qur’an di Asnawiyyah, terima kasih Pak Kyai & Ibu nyai yang telah membimbing saya hingga saya bisa seperti ini, sampai sekarang saya masih mengajar anak-anak menghafal al qur’an Alkhoiriyyah, dan alhamdullillah saya sudah menjabat koordinator guru tahfiz Yayasan Al Khoiriyyah Semarang,

Akhirnya, saya panjatkan puji  syukur kepada Allah SWT.atas segala karunia yang telah dilimpahkan kepada kami dan keluarga. rasa terimaksih yang sebesar-besarnya kepada KH. Muchozin dan Ibu Nyai Hj. Hajar Harni Al Hafidzoh serta keluarga atas segala bimbingan dan barokah ilmunya.

0 komentar:

Post a Comment

 
Top